BAGIKAN

Oleh, Jemmy Ibnu Suardi (Peneliti Senior Mercusuar Institute)

Banten sebagai sebuah Kesultanan yang pernah hadir di Nusantara, adalah Kesultanan yang mula-mula berdiri atas ikhtiar dari seorang zuriyat Rasulullah Muhammad Saw., yakni Syarif Hidayatullah, dan diwariskan kepada keturunannya, hingga dibubarkan sepenuhnya oleh Belanda 1868.

Penguasa Cirebon ini yang juga adalah Ulama yang berasal dari Pasai ini, setidaknya itu kesimpulan dari Hoesein Djayadijingrat dalam bukunya Tinjauan Kritis Tentang Sajarah Banten, telah menjadikan Banten sebagai sebuah negeri yang mula-mula adalah jajahan Padjajaran menjadi sebuah negeri yang berdaulat, bahkan kemudian cucu Syarif Hidayatullah, Maulana Yusuf yang menjadi Sultan Banten tahun 1565-1580, membalikan keadaan, dimana akhirnya Banten berhasil menganeksasi Padjajaran dan kemudian jatuh pada kuasa Kesultanan Banten.

Banten, seperti yang diutarakan oleh Martin van Bruinessen dalam makalah yang ditulisnya dengan judul _Shari’a Court, Tarekat and Pesantren: Religious Institutions in the Banten Sultanate,_ menyebut bahwa Banten hingga akhir abad ke-19 sebagai sebuah negeri yang kuat dalam mengamalkan syariat Islam, dibandingkan beberapa daerah lain di Jawa.

Snouck Hurgronje, orientalis besar Belanda yang pernah datang ke Mekkah dengan berpura-pura masuk Islam dan mengubah namanya menjadi Abdul Ghofar, mendapati orang-orang Banten adalah komunitas yang paling mencolok diantara penduduk Nusantara di Mekkah, banyak diantaranya yang menjadi pelajar, ulama bahkan tokoh penting disana, katakanlah Syeikh Abdul Karim, Syeikh Nawawi, dan aktivis, Haji Marzuki dan Tubagus Ismail.

Sebagai sebuah Kesultanan, Banten juga mendirikan sebuah institusi hukum, atau kantor Qadhi. Badan peradilan Islam ini berperan sebagai institusi yang menjaga hukum-hukum syariat berjalan dengan baik, seperti muamalah, jual beli, nikah cerai, hudud, dan semua amalan syariat Islam lainnya. Posisi Qadhi ini sangat penting di Kesultanan Banten, dan gelarnya kemudian hari di kenal dengan sebutan Kiyahi Pakih Najmuddin.

Baca Juga :   Muharam; Sejarah, Kemuliaan hingga Tradisi di Nusantara

Orang Barat pertama yang datang ke Banten tahun 1596, Belanda, menganggap Qadhi Pakih Najmuddin seperti Uskup dalam Katholik, atau the Highest Sheikh, yang memegang otoritas tertinggi akan hukum Islam. Sumber Belanda yang paling awal mengklaim bahwa Syeikh Tertinggi ini telah dikirim ke Banten dari Mekkah, seperti Roma yang mengirim utusan, Uskup ke negeri-negeri Eropa.

Belum diketahui, sejak kapan lembaga hukum ini didirikan, boleh jadi Syeikh yang menjadi Qadhi ini juga secara otomatis mulai berperan ketika Kesultanan Banten mula-mula berdiri. Karena sebagai Kesultanan, mestilah ada seseorang yang ahli hukum Islam, memegang peranan sebagai penjaga dari berlakunya Syariat Islam.

Sejak awal abad ke-17, posisi Qadhi ini tidak lagi dijabat oleh orang diluar Banten, setelah Kedutaan Banten -dalam istilah Bruinessen- tidak berhasil mengirimkan Ulama Mekkah untuk menjadi Qadhi di Banten, maka orang Banten sendiri yang kemudian diangkat menjadi Qadhi. Menurut catatan Hoesein Djajadiningrat, setelah Sultan Abul Mafakhir mangkat tahun 1651, diangkatlah dari kalangan keluarga Sultan yang memiliki pengetahuan agama yang tinggi, yaitu Pangeran Jayasantika, namun Jayasantika enggan menerima jabatan kehormatan sebagai Qadhi, dan memilih pergi meninggalkan Banten dan menetap di Mekkah. Akhirnya kerabat Sultan yang lain, yaitu Entol Kawista, diangkat sebagai penggantinya, dan dirinyalah yang mula-mula bergelar Qadhi, Kiyahi Pakih Najmuddin.

Pakih Najmuddin kemudian mengeluarkan aturan-aturan, produk hukum sosial yang berlandaskan kepada hukum-hukum fikih, syariat Islam, yang kemudian dikenal oleh orientalis Barat sebagai Undang-undang Banten. Bruinessen mencatat, Belanda pada tahun 1786 melaporkan bahwa orang Banten memiliki hukum peradilannya sendiri yang merujuk pada syariat Islam dan berlaku bagi seluruh rakyat Banten dan negeri-negeri yang memiliki hubungan diplomasi dengan Banten.

Baca Juga :   Prancis "Memelas" Hutang pada Kesultanan Banten

Ayang Utriza Yakin yang menulis Disertasi berjudul _’Undhang-undhang Banten, etudo philologique de la compilation des lois du Sultanat de Banten,_ mengatakan bahwa Kitab Undang-undang Banten adalah rujukan utama sebagai sumber hukum di Banten, kitab ini merupakan kompilasi hukum yang berisi tentang hukum fikih Islam, hukum adat, dan hukum Eropa. Tidak hanya sebagai penjaga atas terlaksananya hukum Syariat, Pakih Najmuddin juga adalah orang yang memiliki otoritas dalam penunjukan petugas-petugas pelaksana syariat di Banten, seperti menunjuk petugas pengumpul zakat, penghulu dan hakim.

Ketika Belanda menjadikan Banten sebagai bagian administrasi Kolonialisme 1813, pada saat yang sama peran dan fungsi Sultan Banten serta Qadhi Pakih Najmuddin hilang. Tahun 1832 Sultan Banten terakhir diasingkan ke Surabaya. Pemegang otoritas Qadhi, Pakih Najmuddin terkahir adalah Tubagus Haji Abubakar yang wafat tahun 1835. Penggantinya Haji Mohammad Adian menjabat sampai tahun 1859. Tahun 1868 secara resmi kantor Qadhi Kesultanan Banten dihapuskan. Saat itulah hukum-hukum positif Belanda berlaku di Banten, menggantikan hukum Islam yang sudah berlaku ratusan tahun dan mendarah daging di Banten.

Kitab Undang-Undang Banten yang terakhir merupakan koleksi pribadi Orientalis terkemuka Snouck Hurgronje, yang didapatnya dari Kiyai Faqih Najmuddin terakhir, Haji Mohammad Adian, yang kemudian di simpan di perpustakaan Universitas Leiden, Belanda. Posisi dan pengaruh Qadhi hilang bersamaan dengan hancurnya Kesultanan Banten, meskipun demikian, historiografi Banten menunjukan bahwa Kesultanan Banten, dengan produk hukum Undang-undang Banten, pernah menjadi sebuah Kesultanan yang beradab dan memiliki kebudayaan yang tinggi.

TINGGALKAN KOMENTAR