Seandainya Sultan Ageng Tirtayasa memerintah di zaman kontemporer, tentu beliau pantas disematkan gelar “Bapak” Sultan Pembangunan Kesultanan Banten. Tercatat selama masa pemerintahannya, Banten menjadi sebuah negara modern dan maju pada zamannya.
Masa kedaulatan penuh Kesultanan Banten sejak didirikan Sultan Maulana Hasanuddin 1527, sampai akhir masa Sultan Ageng Tirtayasa 1682, sesudahnya Banten dikuasai perusahaan dagang VOC, dan akhirnya dibubarkan oleh pemerintahan kolonial Belanda 1813, dimana Sultan Muhammad Shafiuddin menjadi Sultan terakhir Banten. (Lihat Claude Guillot, Banten. Sejarah dan Peradaban (Abad X-XVII, hal. 192)
Orientalis Barat Claude Guillot menuturkan, Sultan Ageng Tirtayasa sukses mewujudkan proyek besar selama tiga puluhan tahun berkuasa. Kanal atau Terusan selebar 6 m, kedalaman 4 m, sepanjang 40 km digali. Tiga bendungan di bangun. 40.000 hektar sawah baru. Beribu-ribu hektar tanah dijadikan kebun kelapa. Membangun dua kota baru, melakukan transmigrasi 30.000 penduduk. Tercatat di akhir masa pemerintahannya, masyarakat Kesultanan Banten 231.000 jumlahnya. (Claude Guillot, hal. 171)
Pada awal pemerintahan Sultan Ageng 1651. Rencana pembangunan proyek infrastruktur negara, berupa penataan seluruh dataran rendah pantai yang luas, dari Anyer sampai Tangerang. Perkebunan kelapa yang luas dari ujung bagian paling timur Sungai Cisadane, dilanjutkan ke arah barat dengan penggalian kanal atau terusan sungai Tanara ke sungai Pasilian, terus sampai ke teluk Banten. Kemudian juga daerah antara Pontang sampai Tanara, lalu perbaikan jalur pengairan yang terbentang dari ibukota sampai Anyer di selat Sunda.(Claude Guillot, hal. 170)
Pendirian istana dan pemukiman baru di Tirtayasa, yang kemudian disematkan pada namanya Sultan Ageng Tirtayasa, mengerahkan pekerja proyek yang tidak sedikit. Tercatat 26.000 pekerja, dikerahkan Sultan untuk mewujudkan mega proyek infrastruktur pada zamannya. Para pekerja yang terlibat, tidak sedikit yang di “impor” dari Tionghoa dan “pelarian-pelarian” warga negara yang kalah perang lawan VOC, seperti Kesultanan Makassar, Kesultanan Mataram dan Batavia. (Claude Guillot, hal. 170)
Proyek infrastruktur ini di pimpin oleh Syahbandarnya Sultan, yakni seorang Tionghoa muslim yang dikenal Cakradana, sehingga tak heran kenapa banyak pekerja Tionghoa yang terlibat dalam pembangunan kota baru, Tirtayasa. Awal tahun 1659, perekonomian Kesultanan Banten mengalami pertumbuhan melesat. Kemakmuran rakyat benar-benar dirasakan. (Claude Guillot, hal. 176)
Pada periode 1659-1673 Kesultanan Banten menjadi satu-satunya pelabuhan internasional yang masih bebas beroperasi. Pertumbuhan penduduk mencapai 300% dari 55.000 menjadi 150.000 orang, dalam waktu setengah abad. Antara tahun 1640-1665 memang pelabuhan-pelabuhan utama di Nusantara seperti Malaka, Makassar, Palembang sudah jatuh oleh VOC yang bermarkas di Batavia. Hal ini menjadi salah satu faktor peningkatan pendatang baru ke Banten. (Claude Guillot, hal. 178)
Pembangunan infrastruktur ini kemudian terhenti dan hancur oleh pemberontakan anaknya sendiri. Sultan Haji yang di hasut VOC merebut singgasana dan juga kedaulatan kesultanan. Sultan Ageng Tirtayasa gugur, sebagai seorang pahlawan yang agung. VOC kemudian melantik Sultan Haji sebagai sultan boneka, ini kemudian menjadi awal kekuasaan VOC di negara berdaulat, Kesultanan Banten.
Meskipun Kesultanan Banten tidak lagi berdaulat selepas Sultan Ageng Tirtayasa, masa pemerintahannya adalah bagian sejarah keemasan Banten yang membanggakan. Di ujung barat pulau Jawa, pernah berkuasa seorang sultan yang digdaya, Sultan Ageng Tirtayasa.
Kesultanan Banten menjadi primadona, buah bibir dunia internasional pada zamannya. Khazanah sejarah kejayaan masa silam, semestinya lebih dipelajari oleh generasi muda Banten, agar menjadi tuntutan berharga untuk pembangunan Banten di masa yang akan datang.
Penulis : Jemmy Ibnu Suardi
editor : Muhammad Raidhil