lahir dari rahim hujan yang sunyi
tubuhmu hampir selalu sempurna
dialiri kenyataan
waktu pernah berkata :
“kita tak tahu cinta, apa dan dimana?”
lantas sepakat untuk jadi abadi
tanpa saling tahu
kapan luka akan menjalari tubuh
yang pergi satu detik kemudian adalah pujian
lebih terburu-buru dari embun
seketika wajah sajak jadi menor, genit dan penuh riasan
pahit…
satu demi satu menemui ajal
“di huruf terakhirkah?”
“bukan, maut itu telah ada di maksud”
tubuh sajak menghadapi sekarat
jutaan paras bergegas, riuh, gemuruh…dan…
ah, ternyata hanya begitu
sekejap, lukamu kian menganga
seiring remaja gemar menabur kata cinta
duka terasa murah sekali
Bogor, Juni 2012
I
misal hujan turun
aku ingin giat mengejar sisa dingin
yang dilupakan langit
sambil menjala pelangi
sebelum dicumbui kawanan walet
lantas mendustai bidadari tentang cerita bumi
matahari masih malas, belum ada yang berdoa meminta cahaya
manusia mabuk hujan, sementara aku menyusun rencana
tentang menjala pelangi, sendiri
merambati duka awan yang belum selesai
pada waktunya, tubuh pelangi tak punya warna
hanya bualan penjaga kahyangan yang dipuja-puja
dan mustajab adalah dusta, jalaku kosong…
II
aku bergegas turun ke bumi
turun pada kenyataan bahwa tak ada sisa dingin di beranda
yang membuatmu enggan mampir
mendengar kisahku menjala pelangi
yang ternyata lebih dulu kau patri di halamanmu
aku terperangah,
karena luka bumi kerap singgah
membohongi rerumputan dan angin siang
tujuh hari tujuh malam tanpa hujan, hanya mendung yang tak bertuan
aku hampir berminat menyunting gelisah
namun nyaliku tak bersisa, habis di perbatasan janji
sedang pahala yang kucuri dari kantung langit. tak cukup menebus kenyataan
III
kolong pelangi adalah tempat mencatat rahasia
meski tak nampak sebatang pena pengantar kata-kata
setumpuk kertas telah sarat bual dan jejal
tak lagi mampu jadi sendu
seperti hati serdadu
renung rampung dalam seruas kenangan
tiba-tiba jadi nyata, muncul dari bilik rindu
dan angin jadi bising, membawa cacian paling asing
lantas duduk berbincang
merupa hiasan dinding usang
dihampiri cicak genit, jatuh dari langit-langit
masuk ke jala
tempat semula pelangi hampir berada
bekasi-bogor, juni 2012
senada nyala api
di ubun-ubun mu, terendap sepi
“kutangkap rimbunan cahaya, agar tak sekarat dalam gulita”
ujarmu sambil berpura-pura tenang menghadapi maut
namun tubuhmu gigil, mencair…
di atas meja tanpa hiasan bunga
lantas kau terkesiap
memilih huruf terbaik
berharap lebih bercahaya di kehidupan berikutnya
sebelum akhirnya kau sadar
tak ada reinkarnasi untuk sebatang lilin jingga
Bandar Lampung, Juni 2010
dulu
ketika tanah kerap basah
tumbuh di hamparan yang sengaja Tuhan berikan
baunya begitu usil menyusup hela nafas
akar begitu liar
menembus belukar
meranggas kisah dedaunan tua
tumbuh di hamparan yang sengaja Tuhan berikan
meski tanpa dawai penabur cinta
kisah berderu di padang ilalang
musim belum berganti kala itu
masih menyisakan kabut yang turun dari khayalan
maka nada itu makin menjadi
tumbuh di hamparan yang sengaja Tuhan berikan
kadang begitu sunyi
hanya bualan serangga di celah kenyataan
namun semua masih terjaga
kini
tepi tubuhmu makin menghitam
peluh kerap jujur menampilkan gelisah
ah…melodi ilalang sayup
kemarau akan tiba….
Bandar Lampung, Juni 2010