Perayaan Maulid di Banten, Tradisi Resmi Kesultanan Banten

Perayaan Maulid di Banten, Tradisi Resmi Kesultanan Banten

0
BAGIKAN

Oleh, Jemmy Ibnu Suardi, M.Pd.I
Co-Founder Mercusuar Institute

Sebagai sebuah fenomena sosiologis, perayaan Maulid Nabi Muhammad Saw, adalah sebuah tradisi yang hadir ditengah-tengah masyarakat Muslim dunia, menurut sebagian orang mengatakan sebagai tradisi yang bertujuan untuk memperingati hari kelahiran nabi Muhammad Saw. Meskipun tidak ada dalil syar’i yang memerintahkan umat Islam untuk memperingatkan Maulid Nabi setiap tahunnya, tradisi ini menjadi salah satu upaya bagi kaum muslimin secara khusus mengingat kembali jalan panjang Nabi Muhammad Saw, dalam mengemban risalah dakwah Islamiyah.

Tradisi Maulid secara khusus digunakan oleh Pahlawan Islam Shalahuddin Al Ayubi untuk membangkitkan kembali semangat juang kaum muslimin dalam upaya merebut kembali Yerusalem, Masjidil Aqsha dari tangan salibis. Tradisi Maulid diyakini diinisiasi oleh kalangan keluarga Nabi sendiri, untuk mengenang datuknya secara genealogis, meskipun ada juga sebagian yang berpandangan tradisi Maulid mula-mula dilakukan oleh kalangan Syi’ah, namun demikian khusus di Indonesia, yang kental setiap tahun dengan tradisi perayaan Maulid, aliran teologi Syi’ah tidak laku di Nusantara. Negeri-negeri di bawah angin ini, bahkan menganut paham ahlussunnah wal jama’ah terbesar di dunia.

Tradisi Maulid pertama di Banten.
Sultan Abul Mafakhir Mahmud Abdul Qadir,
Sultan ke-4 Banten yang merupakan Sultan pertama di Nusantara yang secara resmi mendapatkan predikat ‘sultan’ dari Syarif Mekkah, adalah tokoh utama dalam terjadinya tradisi perayaan Maulid setiap tahun di Nusantara, khususnya di Banten.

Baca Juga :   Mengenal Aliran Teologi Syi'ah, Sebuah Pengantar

Lahir tahun 1596 dan berkuasa sejak usianya masih 5 bulan, Sultan Abul Mafakhir Mahmud Abdul Qadir dikenal sebagai seorang Sultan di Nusantara yang tinggi kecintaannya akan keilmuan Islam. Tidak hanya sebagai Sultan, Abul Mafakhir Mahmud Abdul Qadir juga dikenal sebagai seorang ulama. Beliau banyak mewariskan salinan kitab-kitab keilmuan Islam tulisan tangan berbahasa jawi, yang kemudian diwariskan secara turun-temurun dalam lingkungan istana Kesultanan Banten.

Sebelum dikenal sebagai seorang Sultan, Abul Mafakhir dikenal dengan gelar Panembahan Ratu Abdul Qadir, tahun 1630an secara resmi Abdul Qadir sebagai penguasa Banten, mengirimkan delegasi ke Tanah Suci untuk mendapatkan salinan kitab-kitab keilmuan Islam. Hal ini menempatkan Abdul Qadir sebagai penguasa Islam di Nusantara yang pertama dalam membuka hubungan diplomatis keagamaan ke pusat kota spiritual Islam, yaitu Mekkah.

Naskah Kuna Sajarah Banten menyebut tahun 1638, delegasi Banten yang di wakili oleh Wangsaraja, Tisna Jaya dan Lebe Panji ini pulang dari Mekkah membawa salinan kitab-kitab keilmuan Islam, dan simbol-simbol kekuasaan. Lebih lanjut dalam catatan Naskah Kuna Sajarah Banten, Kesultanan Banten mendapatkan kehormatan berupa panji Nabi Ibrahim yang merupakan simbol kekuasaan Khalifah Islam, tapak suci nabi Muhammad Saw, Kiswah Ka’bah, dan gelar prestisius ‘Sultan’.

Baca Juga :   Cegah Radikalisme dan Terorisme, FKPT Banten Libatkan Perempuan

Tidak hanya raja, putra mahkota Banten juga mendapatkan gelar yang serupa. Panembahan Ratu Abdul Qadir sejak 1638 dikenal sebagai Sultan Abul Mafakhir Mahmud Abdul Qadir, dan putra mahkota Banten dikenal dengan nama Sultan Abul Ma’ali Ahmad. Selanjutnya Sultan Banten juga diberi otoritas oleh Syarif Mekkah untuk melantik sultan-sultan di Nusantara sebagai representasi Syarif Mekkah.

Dalam hal ini, secara khusus Kesultanan Banten mendapatkan mandat dari Syarif Mekkah, untuk melaksanakan Maulid Nabi setiap tahunnya. Dengan mengarak keliling kota simbol-simbol kekuasaan nabi, berupa panji-panji yang telah diberikan kepada Kesultanan Banten. Maka sejak saat itu, tahun 1638 secara resmi perayaan maulid Nabi dijadikan sebagai tradisi resmi di Kesultanan Banten, dan menjadi tradisi masyarakat di Nusantara, khususnya Banten sampai saat ini.

TINGGALKAN KOMENTAR