Berdasarkan Undang Undang Perbendaharaan Negara Nomor 1 Tahun 2004, bahwa penyelenggaraan pemerintahan negara untuk mewujudkan tujuan bernegara menimbulkan hak dan kewajiban negara yang perlu dikelola dalam suatu sistem pengelolaan keuangan negara. Salah satunya adalah pengelolaan administrasi pemerintahan dengan prinsip tata kelola yang baik sehingga setiap transaksi keuangan negara dapat dipertanggungjawabkan dengan baik dan benar.
Dalam pelaksanaan anggaran negara, mekanisme pengeluaran Anggaran dan Pendapatan Belanja Negara (APBN) melalui Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara (KPPN) diterapkan mekanisme pengeluaran langsung dan pengeluaran melalui uang persediaan.
Mekanisme pembayaran langsung (LS), yaitu mekanisme pembayaran dari Bendahara Umum Negara (KPPN)/Negara kepada rekanan atau pihak ketiga. Mekanisme pembayaran LS tidak hanya untuk melakukan pembayaran dengan menggunakan sistem kontrak saja, tetapi dapat dikembangkan untuk pembayaran langsung kepada pihak ketiga/rekanan tanpa melalui ikatan pekerjaan dengan sistem kontrak, seperti pembayaran honor atau untuk pengadaan barang dan jasa sampai dengan Rp 50 juta sesuai dengan keppres 80 tahun 2003 yang mengatur mekanisme tata cara pengadaan barang/jasa pemerintah.
Mekanisme pembayaran LS merupakan mekanisme pembayaran yang utama di mana dalam rangka pencairan APBN, seharusnya lebih menekankan pada prinsip-prinsip pembayaran LS ketimbang menggunakan mekanisme UP.
Dan optimalnya penggunaan uang Negara karena dapat mengurangi idle cash money pada bendahara pengeluaran, sehingga dapat digunakan secara optimal oleh BUN dalam rangka manajemen kas.
Mekanisme pengeluaran melalui Uang Persediaan pengeluaran/belanja yang dilakukan oleh bendahara dengan memakai uang persediaan. Uang persediaan atau UP adalah uang muka kerja dengan jumlah tertentu yang bersifat daur ulang (revolving), diberikan kepada bendahara pengeluaran hanya untuk membiayai kegiatan operasional kantor sehari-hari yang tidak dapat dilakukan dengan pembayaran langsung.
Uang persediaan yang diberikan kepada bendahara pengeluaran merupakan uang muka kerja dari Bendahara Umum Negara (BUN) atau Kuasa BUN yang belum membebani anggaran (Transito) yang harus dipertanggungjawabkan.
Dalam rangka penyempurnaan mekanisme dan modernisasi secara non tunai pembayaran APBN serta melaksanakan ketentuan Pasal 66 ayat (5) Peraturan Pemerintah Nomor 45 tahun 2013 tentang Tata Cara Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 50 Tahun 2018 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2013 tentang Tata Cara Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, Pemerintah menetapkan peraturan Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 196/PMK.05/2018 tentang Tata Cara Pembayaran dan Penggunaan Kartu Kredit Pemerintah.
Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 196/PMK.05/2018 ini mengatur mengenai tata cara pembayaran dan penggunaan Kartu Kredit Pemerintah dalam penyelesaian tagihan kepada negara melalui mekanisme Uang Persediaan selain Satker Perwakilan Republik Indonesia di luar negeri dan Satker Atase Teknis.
Sebelum terbitnya PMK Nomor 196/PMK.05/2018, telah dilakukan uji coba penggunaan Kartu Kredit Pemerintah yang dalam Peraturan Dirjen Perbendaharaan No. Per-17/PB/2017 tentang Uji Coba Pembayaran Dengan Kartu Kredit Dalam Rangka Penggunaan Uang Persediaan. Uji coba penggunaan kartu kredit dalam pembayaran belanja dilaksanakan pada KPPN seluruh Indonesia.
Kartu Kredit Pemerintah ini adalah alat pembayaran dengan menggunakan kartu yang dapat digunakan untuk melakukan pembayaran atas belanja yang dapat dibebankan pada APBN, dimana kewajiban pembayaran pemegang kartu dipenuhi terlebih dahulu oleh Bank Penerbit Kartu Kredit Pemerintah, dan Satker berkewajiban melakukan pelunasan kewajiban pembayaran pada waktu yang disepakati dengan pelunasan secara sekaligus.
Penggunaan kartu kredit pemerintah ini dipakai pada mekanisme pengeluaran anggaran melalui uang persediaan dan terbatas untuk penyelesaian tagihan belanja barang dan belanja modal.
Tujuan penggunaan Kartu Kredit Pemerintah adalah
- Meminimalisasi penggunaan uang tunai dalam rangka transaksi keuangan negara
- Meningkatkan keamanan dalam bertransaksi
- Mengurangi potensi fraud dari transaksi secara tunai
- Mengurangi cost of fund/idfle cash dari penggunaan UP
Meminimalisasi penggunaan uang tunai dalam rangka transaksi keuangan negara
Kegiatan operasional sehari-hari satker tidak dapat dilakukan dengan pembiayaan langsung, bendahara satker dapat mengajukan uang muka/uang persediaan. Besarnya uang muka (uang persediaan) yang diajukan tergantung dari jumlah yang akan dibelanjakan. Uang persediaan dapat dilakukan pengisian kembali (revolving) sesuai pagu dana yang masih tersedia dalam DIPA dengan ketentuan apabila UP yang ada sudah dibelanjakan sebesar 75%.
Proporsi UP sebagaimana dimaksud ayat (1) Pasal 5 PMK Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 196/PMK.05/2018 diatur sebagai berikut:
a. UP Tunai sebesar 60% (enam puluh persen) dari besaran UP sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan mengenai tata cara pembayaran dalam rangka pelaksanaan anggaran pendapatan dan belanj a negara; dan
b. UP Kartu Kredit Pemerintah sebesar 40 % (empat puluh persen) dari besaran UP sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan mengenai tata cara pembayaran dalam rangka pelaksanaan anggaran pendapatan dan belanja. negara.
Dengan pengaturan proporsi uang persediaan ini, otomatis uang yang beredar menjadi lebih sedikit, karena belanja yang dilakukan satker tidak menggunakan uang tunai dan dengan demikian secara tidak langsung akan menekan angka inflasi.
Meningkatkan keamanan bertransaksi
Penggunaan Kartu Kredit Pemerintah dalam uang persediaan akan meningkatkan keamanan bertransaksi. Bendahara satuan kerja berbelanja kebutuhan operasional kantor tidak perlu membawa uang tunai yang seringkali berisiko hilang atau menjadi incaran mereka yang berprofesi menjambret.
Mengurangi potensi fraud dari transaksi secara tunai
Transaksi secara tunai dapat menimbulkan fraud, seperti salah hitung jumlah pembayaran, uang yang dibelanjakan lusuh dan rusak, sehingga kasir tidak mau menerimanya, jumlah uang kembalian kurang atau berlebih karena kekeliruan kasir memberikan uang kembalian. Penggunaan kartu kredit pemerintah oleh bendahara akan mengurangi potensi fraud.
Mengurangi cost of fund/idle cash dari penggunaan Uang Persediaan
Uang Persediaan yang ada pada bendahara sebelum penggunaan Kartu Kredit Pemerintah seluruhnya berupa uang tunai yang disimpan dalam brankas atau rekening bendahara, uang persediaan ini apabila tidak dikelola dengan baik berakibat realisasi belanja tidak terserap, maka uang persediaan itu akan tersimpan dalam brankas atau dalam rekening terlalu lama dan menjadi idle cash yang akan mempengaruhi perekonomian negara.
Dengan diberlakukannya penggunaan kartu kredit pemerintah dimana uang persediaan tunai sebesar 60% sedangkan uang persediaan dengan menggunakan kartu kredit sebesar 40% yang masih berada di rekening KUN yang dapat dikelola untuk kebutuhan yang lain.
Mekanisme penggunaan Kartu Kredit Pemerintah
Kartu Kredit Pemerintah dapat diterbitkan apabila sudah dilakukan perjanjian kerjasama antara Bank (Himbara) dengan Satker (Kuasa Pemegang Anggaran dengan Bendahara selaku pemegang kartu Kredit). Kartu Kredit yang sudah diterima satker dapat digunakan untuk belanja operasional dan belanja modal paling banyak Rp.50 juta.
Bukti belanja dan pembayaran dengan kartu kredit selanjutnya akan diverifikasi oleh PPK dan apabila terdapat bukti yang tidak sesuai PPK dapat menolaknya dan menjadi tanggungjawab pemegang kartu, berdasarkan bukti bukti ini diterbitkan SP2D sebagai pengganti uang persediaan yang akan masuk ke rekening bendahara dan akan dipakai untuk pelunasan tagihan kartu kredit.
Kendala Penggunaan Kartu Kredit Pemerintah
Sejak dilakukan uji coba penggunaan Kartu Kredit, beberapa kendala ditemukan dalam penggunaannya seperti:
- Wilayah kedudukan Satker yang tempat berbelanjanya jauh dari kota, sehingga hanya menerima uang tunai dan tidak menerima pembayaran dengan kartu kredit, sehingga menyulitkan satker untuk belanja.
- Terbatasnya penyedia atau rekanan yang menerima kartu kredit sebagai alat pembayar.
- Toko atau rekanan penyedia barang dan jasa yang mengenakan biaya atas penggunaan kartu kredit oleh Satker. Biaya yang dikenakan menyulitkan satker dalam pertanggungjawaban dan penggunaan akun pada saat pencatatan.
- Bendahara Satker menggunakan rekening pada bank yang tidak menerbitkan kartu Kredit.
- Bendahara Satker tidak familiar dengan penggunaan Kartu Kredit.
- Proses penerbitan Kartu Kredit Pemerintah masih terpusat, sehingga menggunakan waktu yang lama.
Dapat disimpulkan, Penggunaan Kartu Kredit Pemerintah dapat menunjang likuiditas dan efisiensi kas negara dan dapat mempercepat pelaksanaan kegiatan satker.dan mendukung program meminimalisasi peredaran uang tunai, sehingga dapat tata kelola keuangan negara yang efektif dan efisien dapat tercapai.
*Oleh : Maimoon Sary (Kasi STA Kanwil DJPb Banten)