Penerimaan Pajak dari Dana Desa: Sudah Optimal?

Penerimaan Pajak dari Dana Desa: Sudah Optimal?

0
BAGIKAN

oleh :  Muhammad Nur
(Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara Banda Aceh)

Sejak tahun 2015, Dana Desa telah menjadi salah satu instrumen Transfer ke Daerah yang disediakan oleh APBN untuk membantu pembangunan dan pengembangan Republik ini dari pinggiran. Secara keseluruhan sejak tahun 2015 hingga tahun 2021 lalu, Dana Desa telah disalurkan sebesar Rp. 400,1 Trilyun. Walaupun dalam dua tahun ini Indonesia sempat dihantam oleh badai Pandemi Covid-19, namun Dana Desa tetap memiliki peran penting tidak hanya sebagai instrumen pembangunan, tetapi juga sebagai instrumen pemulihan ekonomi dan ketahanan masyarakat desa.

Hal ini dikarenakan sejak tahun 2020 lalu, sebagian porsi Dana Desa (kisaran 8%) harus dialokasikan oleh Desa untuk penanganan pandemi. Selain itu, Presiden RI juga menginstruksikan agar ada alokasi Bantuan Langsung Tunai (BLT) dari Dana Desa ini.
Pada tahun 2022 ini, terdapat 83.843 Desa/Kelurahan yang tersebar di 34 Provinsi di Indonesia (bps.go.id). Dari jumlah tersebut yang mendapatkan alokasi Dana Desa sebanyak 74.961 Desa, sedangkan untuk Kelurahan tidak terdapat alokasi Dana Desa. Dalam struktur APBN, alokasi Dana Desa pada tahun 2020 dan 2021 adalah Rp. 72 Triliun untuk 74.961 Desa (djpk.kemenkeu.go.id; setkab.go.id). Namun terjadi penurunan sebesar Rp. 4 Triliun dari anggaran Dana Desa 2021, menjadi Rp. 68 Trilyun untuk 74.960 Desa pada tahun 2022 (djpk.kemenkeu.go.id). Sementara itu, untuk Provinsi Banten sendiri alokasi Dana Desa pada tahun 2020 sebesar Rp. 1,12 Triliun (bantenprov.go.id), lalu pada tahun 2021 sebesar
Rp. 1,135 Triliun (djpk.kemenkeu.go.id) dan pada tahun 2022 ini meningkat menjadi Rp. 1,22 Triliun (banten.antaranews.com).
Secara umum sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Desa, Pembangunan Desa Tertinggal, dan Transmigrasi Nomor 7 Tahun 2021, Dana Desa diprioritaskan untuk (1) pemulihan ekonomi nasional sesuai kewenangan Desa (penanggulangan kemiskinan; pembentukan, pengembangan, dan peningkatan kapasitas pengelolaan BUMDes; serta pengembangan usaha ekonomi produktif); (2) program prioritas nasional sesuai kewenangan Desa (pendataan Desa, pemetaan potensi dan sumber daya, dan pengelolaan TIK; pengembangan Desa wisata; penguatan ketahanan pangan; pencegahan stunting; serta pengembangan Desa inklusif); serta (30 mitigasi dan penanganan bencana alam dan nonalam sesuai kewenangan Desa (termasuk mewujudkan Desa tanpa kemiskinan melalui BLT Dana Desa). Nah, dalam berbagai program di atas, Dana Desa dapat dimanfaatkan antara lain untuk program pembangunan Desa dengan mendayagunakan sumber daya lokal Desa untuk Pendanaan Padat Karya Tunai Desa.

Baca Juga :   Raport Merah Setahun Covid-19: Dampak Positif dan Negatif Pandemi Covid-19 Terhadap Lingkungan

Dalam Permendagri Nomor 20 Tahun 2018 tentang Pengelolaan Keuangan Desa dinyatakan bahwa setiap pengeluaran kas Desa yang menyebabkan beban atas anggaran Belanja Desa dikenakan pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan mengenai perpajakan yang berlaku.

Dalam Permendagri ini juga diatur bahwa Kaur Keuangan Desa sebagai wajib pungut pajak yang melakukan pemotongan pajak (dan penyetorannya) terhadap pengeluaran kas Desa, meliputi belanja pegawai, barang/jasa, dan modal. Terdapat beberapa jenis pajak yang seharusnya dipungut dan disetorkan oleh Desa, yaitu Pajak Penghasilan /PPh (Pasal 21, Pasal 22, Pasal 23, dan Pasal 24 ayat 2), Pajak Pertambahan Nilai/PPN, serta Bea Materai. Jika kita asumsikan setiap Desa mendapatkan pagu Dana Desa rerata sebesar Rp. 1 Milyar dan penerimaan pajak dari setiap Desa di kisaran 4% hingga 6% per tahun, maka potensi penerimaan negara yang bisa diperoleh dari pengelolaan Dana Desa bisa mencapai angka Rp. 2,9 Trilyun hingga Rp. 4,5 Trilyun. Jumlah yang relatif besar bukan?

Namun demikian, aspek perpajakan dalam pengelolaan Dana Desa ini ternyata juga menghadapi berbagai permasalahan. Indonesian Corruption Watch (ICW) menyatakan bahwa aspek perpajakan Dana Desa seringkali bermasalah terutama ketika ada Kepala Desa yang tidak/lupa menyetorkan hasil pungutan pajaknya ke Kas Negara (Firmansyah dan Musri, 2019).

Menurut Firmansyah dan Musri, hal ini juga diperkuat dengan indikasi mengenai kelemahan sistem pengendalian internal di Desa, dimana salah satunya berupa tidak adanya pungutan PPN dan PPh Pasal 22 yang seharusnya ditanggung oleh penyedia barang/jasa serta membebankan pajak itu ke kas Desa, tetapi tidak dilampiri dengan bukti setoran pajaknya. Selain itu, keterbatasan SDM yang dimiliki oleh Desa (terutama berkaitan dengan pendidikan aparatur Desa) juga seringkali menjadi kendala tersendiri yang relatif pelik.

Sementara itu, SISKEUDES yang seharusnya relatif sederhana dan mudah digunakan-pun rupanya juga menyisakan masalah baru. Perhitungan pajak masih harus dilakukan secara manual oleh aparatur Desa. SISKEUDES belum mengakomodir perhitungan nilai pajak secara otomatis dalam sistemnya. Andriana (2020) menyatakan bahwa Bendahara Desa masih belum melaksanakan kewajiban perpajakannya secara optimal, baik kewajiban pemotongan, pemungutan, maupun penyetoran pajak. Hal serupa juga dinyatakan oleh Rifa’i, Riski, dan Susanti (2021), dimana kompetensi perangkat Desa, sistem pengendalian internal, kepatuhan Bendahara Desa, dan partisipasi masyarakat juga sangat berpengaruh terhadap akuntabilitas pengelolaan Dana Desa. Sedangkan Antariksa (2018) menyatakan bahwa para Pendamping Desa (Pembakal) dan Bendahara Desa juga belum sepenuhnya memahami aturan perpajakan (pajak.go.id). Mereka memungut pajak dengan tertib, namun seringkali tidak langsung menyetorkan ke Kas Negara.

Baca Juga :   Menjadi Masyarakat Cerdas Pada Pilpres 2019

Dari pembahasan di atas, dapat disimpulkan bahwa potensi penerimaan negara yang berasal dari pengelolaan Dana Desa diduga masih belum optimal. Lalu, bagaimanakah seharusnya kita menyikapi hal tersebut? Setidaknya terdapat beberapa asumsi rekomendasi berkaitan dengan permasalahan di atas.

Pertama, kompetensi SDM aparatur Desa memang terkadang menjadi ganjalan tersendiri. Namun, bukan tidak mungkin pengetahuan aparatur Desa mengenai perpajakan tidak bisa ditingkatkan. Seringkali masyarakat atau aparatur bukannya tidak mau patuh, hanya saja mereka belum mengerti dan memahami sepenuhnya aspek-aspek kewajiban perpajakan dalam pengelolaan Dana Desa. Maka, dibutuhkan partisipasi yang lebih aktif dari Direktorat Jenderal Pajak (dalam hal ini para Account Representative/AR di setiap Kantor Pelayanan Pajak) agar lebih aktif turun gunung untuk mengedukasi aparatur Desa (termasuk warga masyarakat) mengenai aspek-aspek perpajakan dalam pengelolaan Dana Desa ini.

Kedua, terkait pemanfaatan TIK yaitu SISKEUDES. Diharapkan agar SISKEUDES dapat mengakomodir perhitungan nilai pajak dari setiap transaksi dan administrasi yang di-input ke dalam aplikasi. Dengan adanya menu perhitungan pajak tersebut juga diharapkan dapat meminimalisir kesalahan dan/atau kelalalain dari aparatur Desa dalam memenuhi kewajiban perpajakannya.

Ketiga, diperlukan pula perbaikan regulasi terutama dalam hal persyaratan penyaluran Dana Desa dimana hal ini dapat berkaitan dengan rekomendasi kedua di atas.

Terakhir, partisipasi masyarakat juga sangat penting dalam pengelolaan Dana Desa. Warga masyarakat diharapkan dapat selalu memantau aktivitas pembangunan Desa serta mengingatkan aparatur Desa mengenai kewajiban perpajakan yang harus dipenuhi. Terutama ketika masa-masa akhir dan awal tahun anggaran berikutnya, warga bisa mengingatkan aparatur Desa apakah pajak-pajak yang telah dipungut telah sepenuhnya disetorkan ke Kas Negara.

Warga juga harus waspada, apabila aparatur Desa memiliki perubahan sikap dan gaya hidup yang drastis setelah mereka menjabat. Kita sama-sama berharap bahwa dengan pengelolaan Dana Desa yang tepat, maka kesejahteraan masyarakat Desa serta pembangunan negara Indonesia yang dimulai dari unit pemerintahan terkecil ini diharapkan dapat tercapai secara optimal. Semoga.

Disclaimer: artikel ini adalah opini pribadi penulis dan tidak mewakili pandangan organisasi tempat penulis bekerja saat ini.

TINGGALKAN KOMENTAR