Menganggur di Pusat Industri Indonesia

Menganggur di Pusat Industri Indonesia

0
BAGIKAN
Demo buruh di KP3B Prov. Banten

Oleh:  Abdul Darda (Founder Mercusuar Institute)

Tak layak Provinsi Banten menyandang juara pertama dalam kategori provinsi dengan pengangguran terbesar se-Nusantara. Jika kita melihat rancangan dan visi daerah ini dibentuk, saat masih dibawah naungan Provinsi Jawa Barat, daerah Banten khususnya Cilegon dan Serang, serta Tangerang sudah menjadi pusat pertumbuhan industri Nasional.

Data BPS ditahun 2016 menyatakan bahwa perusahaan yang berdomisili di Banten berjumlah 14.000, setengahnya atau sekitar 6000 – 7000 berada dikategori perusahaan menengah hingga atas atau perusahaan padat modal. Variasi jenis industrinya bermacam- macam, mulai dari Garteks (Garmen Tekstil) terbesar se-Asia Tenggara PT. Nikomas, perusahaan Petrochemical seperti Candra Asri, Nippon Shokubai Indonesia (NSI), Asahimas, juga perusahaan Baja plat merah PT. Krakatau Steel.

Anehnya lagi, setelah menjadi provinsi yang autonom setelah reformasi yaitu pada tahun 2000, permasalahan Banten terkait penganguran, khususnya pada penyerapan tenaga kerja lokal tidak beranjak dari peringkat 3 besar Nasional, mulai dari Gubernur Ratu Atut chosiyah,  Rano Karno, hingga saat ini Wahidin Halim. Ketiganya tak mampu menyelesaikan permasalah krusial di Provinsi Banten. Pilihan kebijakannya pun tak mampu memandang secara holistik akar masalahnya, terlebih lagi salah satu permasalahannya karena penyerapan lulusan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) yang tak terserap perusahaan di Banten.

Baca Juga :   PENINGKATAN PNBP MELALUI PENGHAPUSAN BARANG MILIK NEGARA RUSAK BERAT PADA KANWIL DITJEN PERBENDAHARAAN PROVINSI BANTEN

Setidaknya saya mencatat ada beberapa kendala teknis di lapangan yang membuat angkatan kerja tak terserap.

Pertama, kualifikasi tenaga kerja lokal yang dibutuhkan oleh industri di Banten tidak memenuhi standart kebutuhan industri.

Kedua, banyaknya agen penyalur tenaga kerja, yang biasanya dimainkan oleh LSM dan Para Jawara menarik pungutan uang sebsar 5 juta hingga 10 juta per orang untuk bekerja di suatu perusahaan, isu ini sudah menjadi rahasia umum, sehingga jika tidak memiliki koneksi dan uang tidak akan pernah bekerja.

Ketiga, Perda Ketenagakerjaan Provinsi Banten tidak menjawab permasalahan teknis terkait rekuitmen tenaga kerja di Banten.

Keempat, Gubernur tidak memiliki political will untuk menyelesaiakan persoalan yang sudah berurat dan berakar.

Bagaimana solusi untuk mengatasi masalah ini, tentunya adalah keinginan dari Pemprov Banten untuk serius yaitu dengan membuat langkah strategis menekan angka penganguran, dan itu harus terstate dalam Pergub dan RPJMD Provinsi Banten, agar capaiannya terukur, dan saya melihat belum ada langkah yang dilakukan oleh rezim saat ini. Dinas Tenaga Kerja dan Dinas Pendidikan serta seluruh steakholder terkait bersinergi dalam pencapaian menekan angka pengangguran.

Baca Juga :   PSBB Untuk Penanganan Covid-19, Sudah Tepatkah?

Harus ada langkah dan program yang dilakukan diluar dari kebiasaan atau semacam template ala birokrasi dalam membuat program. Misal, rekruitmen harus melalui dinas tenaga kerja, tetap saja akan memindahkan pungli yang awalnya di agen tenaga kerja berpindah ke Disnakertrans.

Pendataan dan penyiapan SDM yang sesuai kebutuhan pasar tenaga kerja di Provinsi Banten, mesti dilakukan oleh Disnakertrans, perlunya sinergi antara Perusahaan dan Pemprov agar itu terwujud semacam bank data tenaga kerja kebutuhan. Perlunya pembinaan LSM agar mereka profesional dalam menjadi agen penyalur tenaga kerja, pengaktifkan BLK (Balai Latihan Kerja).

Yang terpenting adalah kemauan pemimpin untuk berlelah – lelah menyelesaikan masalah rakyatnya.

TINGGALKAN KOMENTAR