Implementasi Moderasi Beragama di Universitas Sultan Ageng Tirtayasa

Implementasi Moderasi Beragama di Universitas Sultan Ageng Tirtayasa

0
BAGIKAN

Moderasi beragama adalah proses memahami  sekaligus mengamalkan ajaran agama secara adil dan seimbang, agar terhindar dari perilaku ekstrem atau berlebih-lebihan saat mengimplementasi kannya.

Moderasi beragama bukan berarti memoderasi agama, karena agama dalam dirinya sudah mengandung prinsip moderasi, yaitu keadilan dan keseimbangan. Lukman Hakim Saefuddin (2019) mengemukakan bahwa bukan agama jika ia mengajarkan perusakan di muka bumi, ke- zaliman, dan ke-angkara murkaan.

Agama tidak perlu dimoderasi lagi. Namun, cara seseorang beragama harus selalu didorong ke jalan tengah, harus senantiasa dimoderasi, karena ia bisa berubah menjadi ekstrem, tidak adil, bahkan berlebih-lebihan.

Kodratnya, manusia adalah makhluk dengan keterbatasan pengetahuan dalam memahami semua esensi kebenaran. Keterbatasan ini yang mengakibatkan munculnya keragaman tafsir ketika manusia mencoba memahami teks ajaran agama. Kebenaran satu tafsir buatan manusia-pun menjadi relatif, karena kebenaran hakiki hanyalah milik Allah, SWT

Moderasi adalah jalan tengah, sebagaimana analoginya moderator dalam sebuah diskusi atau seminar yang menengahi dan mengatur jalannya disuksi sehingga diskusi dan seminar berjalan sesuai dengan temanya, hal ini diatur oleh moderator, agar tidak terjadi debat kusir antara audiens dan nara-sumber.

Realitanya banyak kelompok diskusi berubah menjadi debat kusir karena lemahnya moderator dalam mengarahkan jalannya diskusi. Moderator harus piawai dan cerdas baik secara intlektual maupun psyikologis agar diskusi tidak liar.

Moderator tidak boleh berpihak baik terhadap narasumber maupun audiens, apalagi menjadi provokator, sehingga memancing munculnya emosi kar6ena masing-masing pihak berupaya mempertahankan pendapatnya.

Moderasi juga berarti ‘’sesuatu yang terbaik’’. Sesuatu yang ada di tengah biasanya berada di antara dua hal yang buruk. Contohnya “ keberanian”. Sifat berani dianggap baik karena ia berada di antara sifat ceroboh dan sifat takut. Sifat “dermawan’ juga baik karena ia berada di antara sifat boros dan sifat kikir.

Moderasi beragama berarti cara beragama jalan tengah sesuai pengertian moderasi tadi. Dengan moderasi beragama, seseorang tidak ekstrem dan tidak berlebih-lebihan saat menjalani ajaran agamanya. Orang yang mempraktekkannya disebut moderat.

Fadlullah dkk (2023) mengemukakan bahwa  moderasi dalam pemikiran dan pelaksanaan ajaran agama atau moderasi sikap dan perilaku keberagamaan yang dipraktikkan oleh umat beragama, terutama dalam relasi dengan negara, modernitas (demokrasi), budaya lokal, kerukunan antar umat beragama, dan upaya bersama penyelesaian masalah kesenjangan soaial.

Moderasi beragama menghimpun gagasan moderat yang humanis, dan universal dalam konteks relasi agama-agama, dimana di dalamnya terkandung pesan moral yang terkait secara langsung dengan masalah harmoni kehidupan sosial keagamaan. Meskipun demikian, moderasi bukan berarti sikap atau prilaku mengajak untuk mengkompromikan sebuah prinsip-prinsip pokok amalan ibadah setiap agama yang sudah menjadi keyakinan dalam Islam disebut Aqidah. Jika sudah menyangkut keyakinan maka tidak boleh ada kompromi.

Baca Juga :   PENINGKATAN PNBP MELALUI PENGHAPUSAN BARANG MILIK NEGARA RUSAK BERAT PADA KANWIL DITJEN PERBENDAHARAAN PROVINSI BANTEN

Muhammad Zainul Majdi (2023) dalam sebuah diskusi kebangsaan  mengungkapkan bahwa Allah,Swt memberikan kebebasan kepada pemeluk agama Islam untuk menjalin kerjasama dan kesepakatan-kesepakatan dengan ummat lain sepanjang tidak berkaitan dengan keyakinan (aqidah). Dan, harus dimaknai bahwa moderasi beragama sebagai sikap toleransi dan saling menghormati antar ummat beragama untuk menjalankan ritual keagamaannya.

Moderasi beragama adalah jalan yang dipilih untuk menyelesaiakan masalah kekerasan dengan berbagai bentuknya. Lukman Hakim Saifuddin (2019) menyoroti karena urgennya meng-implementasikan moderasi beragama harus dilakukan dengan tiga hal :

(1) Sosialisasi gagasan, pengetahuan dan pemahaman tentang moderasi beragama kepada seluruh lapisan masyarakat,

(2) Pelembagaan moderasi beragama ke dalam program kebijakan yang mengikat,

(3) Integrasi rumusan moderasi beragama dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024.

Hal ini menunjukan bahwa kehadiran Negara dalam upaya menciptakan kesadaran cara beragama sangatlah dominan. Upaya menguatkan moderasi beragama dapat menjadikan tradisi ritual keagamaan sebagai penguatan relasi antar agama dengan tradisi dan budaya masyaraat setempat.

Dengan saling menghomati melalui ajaran agama akan lebih mudah menciptakan kedamaian dan keharmonisan. Sejatinya perbedaan harus terkola dengan bijak sehingga melahirkan kekuatan, jika perbedaan tidak dikelola akan menjadi kehancuran lebih-lebih perbedaan itu disulut melalui agama.

Tradisi ritual kegamaan merupakan dimensi ekspresif dari agama yang tertanam secara turun temurun bila dikelola dengan baik akan menjadi medium kultural yang dapat dijadikan sarana menyebarkan nilai-nilai kebangsaan moderasi berbasis tolerasi, solidaritas kebangsaan dan kesetaraan (Kemanag, 2019:116).

Tradisi ritual keagamaan mengandung pesan-pesan moral moderasi beragama budaya yang dapat menjadikan pondasi kerukunan antar ummat beragama, termasuk juga antara ummat beragama dengan pemerintah.

Prof. Dr. Suparman Usman. SH (2016) dalam sebuah seminar mengungkapkan jadikanlah perbedaan sebagai kenikmatan secara anekdot beliau mengungpkan nikmatnya pergaulan suami isteri karena perbedaan jenis. Maka, Perbedaan harus dapat dikelola sehingga menjadi syimbol kekuatan.

Moderasi beragama yang dikembangkan dalam kehidupan bermnasyarakat harus diorientasikan kepada empat  hal, yaitu;  (1) Komitmen kebangsaan (2) Toleransi (3) Anti radikalisme dan (4) Akomodatif terhadap kearifan lokal. Dengan ke-empat  komitmen yang dijadikan rujukan refleksi moderasi beragama, maka realisasi dari pengamalan ajaran agama akan selalu berorientasi pada kedamaian dan keharmonisan, tidak sebaliknya.

Universitas Sultan Ageng Tirtayasa menempatkan moderasi beragama menjadi Mata Kuliah Wajib Umum (MKU) secara terstruktur dan fungsional berlaku tahun akademik 2022/2023 di semester 2 (genap) yang wajib dikontrak oleh seluruh mahasiswa dengan status wajib lulus jika tidak lulus konsekwensinya   akan berdampak kepada proses perkulihan selanjutnya (di semester 4 harus mengambil Mata Kuliah Moderasi Beragama) di semester 2 kecuali ada kebijakan Rektor.

Baca Juga :   Melanjutkan Kontribusi Untuk Negeri (Refleksi Hari Bakti Perbendaharaan Tahun 2019)

Pilihan Moderasi Beragama menjadi Mata Kuliah Umum Wajib di Universitas Sultan Ageng Tirtayasa dilatar-belakangi dari diskusi dan perdebatan panjang, baik melalui Forum Dosen Agama maupun bagian kurikulum sehingga akhirnya disepakati bahwa Moderasi Beragama menjadi Mata Kuliah Wajib Umum dengan kode UN1622302 Bobot 2 SKS dengan Rumpun Mata Kuliah Wajib.

Mata Kuliah Moderasi Beragama di Universitas Sultan Ageng Tirtayasa tidak terlepas dari perasan tokoh besar Sultan Ageng Tirtayasa yang memiliki karakter (1) Berkarakter   Religius (2) Berakter Integritas (3) Berkarakter Nasionalis (4) Berkarakter  Gotong Royong, dan (5) Berkarakter  Mandiri.

Lima karekter tersebut diharapkan mahasiswa lulusan Universitas Sultan Ageng Tirtayasa disamping menjadi sarjana yang professional di bidangnya, ketika terjun kemasyarakat telah memiliki bekal siap mewarnai untuk hidup dan bermanfaat di tengah-tengah keberagaman masyakarat baik etnis, ras, budaya dan agama. Sehingga lulusan Universitas Sultan Ageng Tirtayasa diharapkan unggul dalam bidang;

  1. Mampu menghargai keragaman dan keberagaman di Indonesia, baik keragaman etnis, suku, budaya, bahasa dan agama sehingga mampu menjunjung tinggi nilai-nilai kerukunan antar ummat beragama;
  2. Mampu menganalisis perbedaan pemikiran dan gerakan keagamaan yang berkembang di masyarakat sehingga dapat menghindarkan diri dari paham radikalisme, fanatisme, dan extrimisme.
  3. Mampu memposisikan diri bersikap moderat di tengah keberagaman kehidupan. Sehingga tidak terjebak dalam pertikaian dan konflik yang disulut oleh perbedaan baik pemikiran maupun agama.

Rektor Universitas Sultan Ageng Tirtayasa Fatah Sulaiman (2021) mengemukakan bahwa Revolusi Mental khususnya di lingkungan Untirta menjadi sebuah keniscayaan untuk menuju cita-cita bersama seluruh sivitas akademika yatiu “Terwujudnya Untirta Sebagai Integrated Smart and Green (It’s Green) University yang Unggul, Berkarakter dan Berdaya Saing di Kawasan ASEAN tahun 2030” dan Indonesia Maju. Untuk mewujudkan cita-cita besar dan berlian tersebut harus ditopang oleh  seluruh komponen sivitas akademika, dari mulai rektor hingga tenaga kebersihan.

Oleh karenanya, Untirta memiliki semboyan yaitu “ Untirta JAWARA” :  Jujur, Adil, Wibawa, Amanah, Religius dan Akuntabel.  Syimbol tersebut harus melekat dan meng-kristal pada pribadi dan prilaku keseharian.

Untuk menopang misi dan visi yang begitu mulya tersebut maka Mata Kuliah Moderasi Beragama ambil bagian untuk memoles prilaku di kalangan mahasiswa. Sehingga mereka setelah menimba ilmu pengetahuan di UNITRTA memiliki kemampuan untuk mentranformasikan ilmunya yang terbungkus oleh ilmu agama yang moderat. Karena pada akhirnya sebagai pertanggung jawaqban manusia adalah kepada Tuhannya. Wallhu ‘Alamu Bisshowab.

TINGGALKAN KOMENTAR

two × 3 =