Bahasa Kekerasan dalam Anatomi Manusia

Bahasa Kekerasan dalam Anatomi Manusia

0
BAGIKAN
oleh: Fathoni, SH.
Bahasa Universal

Manusia dibekali kecerdasan oleh Tuhan yang dengannya manusia bisa memilih benar – salah, baik – buruk, rindu – dendam. Kecerdasan (akal) itulah yang membedakan manusia dengan makhluk Tuhan yang lain. Manusia adalah makhluk yang unik. Kucing dan Anjing memang mempunyai naluri (mirip akal), namun mereka tidak dibekali “rasa” untuk menilai layaknya manusia. Naluri yang mereka miliki hanya sebatas untuk bertahan hidup (survival).

Ada kesamaan antara manusia, kucing, anjing, singa dan binatang yang lain, yaitu mereka cenderung menggunakan “kekerasan” dalam mempertahankan hidupnya. Terkadang bukan hanya dalam rangka mempertahankan hidup saja kekerasan dipakai. Singa yang mempertahankan “harga diri” kelompoknya juga menggunakan kekerasan –merebut wilayah– kelompok singa lain. Kekerasan dikenal sebagai bahasa universal. Pernyataan ini bukan menegasikan bahwa manusia vis a vis binatang. Sejarah mencatat, bilamana kekerasan dan perang dijadikan instrumen yang diangkat ke panggung sejarah sebagai arena berebut kekuasaan atau –sekedar– mempertahankan diri.

Semestinya, kekerasan sudah lama ditinggalkan–terlebih oleh bangsa-bangsa yang “mengaku” beradab. Selayaknya, kekerasan hanya dapat ditolerir ketika negara (sebagai organ yang sah) dalam menghadapi apa yang oleh negara dikategorikan sebagai “kejahatan”. Kekerasan hanya boleh dilakukan oleh organ yang sah untuk berhadapan dengan kejahatan, lain tidak.

Baca Juga :   Menganggur di Pusat Industri Indonesia

Anomali: Negara vs Rakyat

Negara memiliki kewenangan (secara atributif) untuk menggunakan kekerasan. Penggunaan kekerasan ini hanya dalam rangka “melindungi” rakyat dari “kejahatan”. Kekerasan oleh negara bukan ditujukan untuk rakyatnya sendiri, namun yang terjadi akhir-akhir ini adalah paradoks dari itu semua. Walaupun “mungkin” tidak ditujukan untuk itu (melawan rakyat sendiri), seringkali rakyat merasa menjadi lawan negara ketika negara “memaksakan” kehendaknya kepada rakyat. Kekerasan seolah menjadi bahasa satu-satunya dalam menyelesaikan permasalahan. Padahal, kekerasan semestinya menjadi bahasa terakhir–kecuali bagi penjahat– sebagaimana dikemukakan di depan. Ketika rakyat menjadi “lawan” negara, tentu hal ini menjadi kontra produktif. Negara akan kehilangan legitimasi dari rakyat: sebagai unsur terpenting dari negara. Rakyat–yang juga manusia– tentu memiliki bahasa-bahasa keindahan yang layak digunakan. Perlu pendekatan sosiologis, “memanusiakan manusia” (jawa: ngewongake).

Satpol PP, Polisi, TNI, Rakyat, semua adalah manusia. Mereka punya keluarga, bukan robot, bukan sekedar instrumen. Kalau ada Satpol PP yang gugur dalam tugas, mungkin ada yang akan menganggapnya sebagai “musuh” yang “tewas”. Tapi tahukah kita, bahwa ada ibunya yang akan menangisi kepergiannya? istri yang akan menangisi kepergian suaminya dan tak akan kembali? Akan ada anak-anak yang menjadi yatim? Bisa saja dia yang gugur itu adalah “mati syahid”, gugur dalam tugas.

Baca Juga :   Melanjutkan Kontribusi Untuk Negeri (Refleksi Hari Bakti Perbendaharaan Tahun 2019)

Tentu saja tulisan ini mencoba objektif. Bahwa kita adalah manusia dan sudah selayaknya menggunakan cara-cara yang manusiawi. Cara-cara yang beradab. Bahasa cinta yang juga universal layak digunakan. Apakah tidak lebih baik, ketika pemerintah (sebagai representasi kekuasaan negara) meminta pendapat rakyat terlebih dahulu ketika akan mengambil suatu kebijakan? Jangan hanya berlindung dalam legalitas dengan mengatakan: “Ini sudah sesuai prosedur hukum”. Hukum manusia, harusnya membawa sebesar-besar kebahagiaan bagi manusia, bukan sebaliknya. Hukum cuma instrumen untuk mencapai kesejahteraan bagi manusia, bukan pertumpahan darah dan kematian yang tragis.

Musyawarah

Mungkin instrumen ini yang paling dikenal di negara ini. Ada Majelis Permusyawaratan Rakyat. Ada lembaga-lembaga musyawarah dari tingkat pusat sampai lembaga-lembaga pemerintahan terkecil seperti desa, dusun, RT, RW. Tapi apa yang terjadi dengan lembaga ini? hanya menjadi slogan yang mengisi kurikulum penataran tanpa implementasi. Kebijakan negara –yang terkadang tidak bijak– seringkali tidak melibatkan rakyat sebagai pemegang kekuasaan tertinggi negara ini. Sudah selayaknya kita buang ego kepentingan kita. Kepentingan negara harus di atas kepentingan pribadi dan golongan. Musyawarahlah, lalu kita tiba-tiba menjadi bangsa yang beradab

TINGGALKAN KOMENTAR